Kamis, 08 Desember 2011

Bertepuk Sebelah Cerpen *)

14 naskah cerpen terkumpul dalam Lomba Menulis Cerpen bertema “Bertepuk Sebelah Tangan” yang diselenggarakan oleh Teater Angin Hongkong. Lomba tersebut terbuka bagi seluruh Buruh Migran Indonesia (BMI) di seluruh dunia, kecuali di Indonesia. Cerpen-cerpen tersebut adalah “Bukan Sebuah Epilog”, “Hati Yang Tergadaikan”, “Dhimas Bagus Satrio Mudo”, “Antara Dua Pilihan”, “Wanita Sumo”, “Cinta Raihana”, “Impian Seorang Dewi”, “Karma”, “(Tak Berjudul)”, “Bertepuk Sebelah Tangan”, “Hari Kemenangan Di Negeri Beton”, “Ibuku Seorang BMI”, “Aku Mencintai Anakmu”, dan “Awal Cerita Yang Kusimpan”.

Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud mendikte kesan pembacaan Sidang Pembaca media ini (karena cerpen sebagai sebuah karya sastra mempunyai relativitas subyektif bagi siapa pun pembacanya), melainkan sekadar memberi sekilas kesan. Oleh karenanya tulisan ini diistilahkan dengan “secoret catatan catat”, yang boleh diartikan “tulisan tidak sempurna”.

Tema
Tema sentral “bertepuk sebelah tangan” dipahami dan diterjemahkan secara variatif oleh para peserta melalui cerpen. Misalnya persoalan cinta antara sepasang manusia, cinta antara sesama manusia, cinta anak pada ibunya, cinta seorang baby sitter pada anak majikannya, cinta kepada Tuhan melalui perayaan hari raya, persahabatan, pekerjaan, dan lain-lain.

Sayangnya, sebagian besar (57,14 %) tentang “cinta seseorang terhadap lawan jenisnya”, yang barangkali saja terlalu memasyarakatnya istilah “cinta bertepuk sebelah tangan” alias “cinta tak terbalas”. Sedangkan sisanya (terbagi dalam prosentase yang kecil) secara merata mengembangkan tema sebagai “keinginan yang tidak sesuai kenyataan”.

Isi atau Makna
Ke-14 cerpen mempunyai isi atau makna bervariasi, seperti termuat dalam beberapa cerpen. Misalnya, cerpen Bukan Sebuah Epilog mengisahkan sebuah perpisahan antara si “aku” (tokoh utama) dengan si “kau” (kawan, tokoh kedua). Perpisahan “aku” dan “kau” seperti juga dengan “kawan-kawan lainnya” merupakan sebuah kisah yang justru menjadi awal cerita baru nantinya. Kalau selama ini kebersamaan menjadikan tepukan dari sepasang tangan (berbalasan), maka perpisahan disamakan dengan bertepuk sebelah tangan.

Cerpen Hati Yang Tergadaikan mengisahkan perjalanan hidup “aku” selama tujuh tahun menjadi BMI di Hongkong, di mana perlakuan para majikan dirasakan oleh “aku” sebagai sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang diinginkan (terlalu semena-mena). Akan tetapi “aku” menyadari posisinya sehingga “aku” berusaha untuk berkompromi, yaitu melakukan apa yang dituntut oleh para majikan meski tidak sesuai dengan perasaan “aku”.

Cerpen Cinta Raihana mengisahkan “aku” (Ray atau Hana atau Raihana) yang tidak dipilih oleh laki-laki bernama Abi atau Abidin sebagai pendamping hidup karena Abi memilih Cut Aisyah, meski “aku” sangat mengharapkan Abi memilih “aku”. Kedekatan hubungan antara “aku” dan Abi disalahartikan oleh “aku” sebagai suatu hubungan berpotensi cinta.

Cerpen (Tak Berjudul) mengisahkan Maysaroh terlibat dalam aksi demontrasi bersama rekan-rekan BMI dalam rangka memperingati Hari Buruh se-dunia tanggal 1 Mei. Dia dan rekan-rekannya menuntut pemenuhan atas hak-hak mereka, meski dia sendiri akhirnya berpikir, “Kapankah akan menjadi nyata?”

Cerpen Hari Kemenangan Di Negeri Beton mengisahkan “aku” (Dita) merayakan Idul Fitri bersama rekan-rekan BMI di negeri orang namun memendam rasa rindu mendalam untuk bisa ber-Idul Fitri bersama kedua orangtua yang telah meninggal dunia.

Cerpen Ibuku Seorang BMI mengisahkan kerinduan “aku” (Reza) sebagai seorang anak pada ibunya yang merantau ke luar negeri demi menopang perekonomian keluarga; kebanggaan anak pada ibunya karena ibunya bukan hanya menjadi “pembantu” tapi juga menjadi “penulis kreatif dan produktif” di luar negeri, ketekunan belajar dan berkreasi si anak sebagai bukti rasa sayangnya pada ibu, dan kehati-hatian anak dalam bergaul.

Cerpen Aku Mencintai Anakmu mengisahkan tanggung jawab pekerjaan “aku” (sebagai seorang baby sitter) dan dilakukan dengan rasa keibuan yang luhur justru menjadi sebuah hubungan batiniah dengan anak majikan sehingga keduanya menjadi sulit dipisahkan.

Bahasa
Ke-14 cerpen peserta tampak berusaha melakukan penggalian (eksplorasi) bahasa untuk mencapai citra estetis. Baca saja misalnya “bening yang selalu menggetarkan jiwa” (cerpen Bukan Sebuah Epilog), “menarik pandangannya yang tersangkut di bulan” (cerpen Antara Dua Pilihan), “rasa tegang yang mulai menjalar” (cerpen Impian Seorang Dewi), “setahun melenggang dengan gemulai” (cerpen Karma), “malam merambat menjemput pagi” (cerpen Hari Kemenangan Di Negeri Beton) dan lain-lain.

Selain citra estetis, pengolahan bahasa bisa memberi suatu gambaran (showing) dalam imaji pembaca. Misalnya “Dingin yang bergentayangan bagaikan durjana yang mencari mangsa” (cerpen Karma), “Deretan rumah menyesaki tiap tanah yang tak lagi kosong” (cerpen Impian Seorang Dewi), “semua khayalanku lari terbirit-birit” (cerpen Wanita Sumo), “Pasti anaknya kutu buku. Berkaca mata tebal, berambut klimis, dan tidak berani menatap perempuan” (cerpen Ibuku Seorang BMI), dan lain-lain.

Sebaliknya, beberapa cerpen masih mengandalkan unsur “menerangkan/menjelaskan” (tell – ajektif). Contohnya “Dua wajah yang sangat menggoda. Cantik dan menawan” (cerpen Cinta Raihana). Wajah sangat menggoda, cantik, dan menawan itu seperti apakah? Tidak ada gambaran (showing) seperti apakah wajah yang sangat menggoda, cantik, dan menawan itu.

Contoh lainnya, “Aku memulai kerja dengan suasana baru yang jujur saja kadang membuat aku jengkel dan tidak betah” (cerpen Hati Yang Tergadaikan). Sayangnya, tidak ada sedikit cerita yang dapat menggambarkan (show) sebab-musabab “aku jengkel dan tidak betah”. Di situ cerita hanya menyuguhkan “penerangan/penjelasan” (telling).

Berikutnya, bahasa dalam dialog. Penggunaan bahasa asing atau daerah merupakan unsur penguat citarasa sebuah karya sastra. Hal tersebut dapat menunjukkan latar belakang tokoh, dan komunikasi antartokoh dalam konteks geografi dan sosial. Sebaiknya disertai pula dengan terjemahannya agar pembaca dapat pula memahami arti sebenarnya. Cerpen Wanita Sumo sudah bisa menempatkan terjemahan di halaman terakhir.

Yang masih banyak harus diperbaiki pada ke-14 cerpen adalah penggunaan Ejaan Yang Disempurnakan (E.Y.D.), misalnya kalimat langsung, kata depan, kata-kata berbahasa asing, huruf kapital, dan lain-lain. Bahkan ada istilah asing yang dipaksakan tampil, semisal “agar aku bisa bekerja sampai finish” (cerpen Hati Yang Tergadaikan).

Dan dari bahasa dalam ke-14 cerpen, tampaknnya proses pengolahan cerpen dilakukan secara tergesa-gesa, termasuk tergesa-gesa diikutkan lomba. Hal ini menjadi kelemahan yang signifikan, meski bisa diperbaiki atau dikurangi. Maka sebaiknya para cerpenis juga memiliki buku pedoman E.Y.D. Para cerpenis yang berpengalaman biasanya tidak mengalami masalah pada E.Y.D, semisal Seno Gumira Ajidarma.

Sudut Pandang
11 cerpen menggunakan sudut pandang orang pertama tunggal (“aku”). 2 cerpen lainnya menggunakan sudut pandang orang ketiga tunggal (dia) sebagai tokoh utama yang bernama Arif ( cerpen Antara Dua Pilihan) dan Maysaroh (cerpen (Tidak Berjudul)).

Hanya 1 cerpen yang memakai sudut pandang tidak konsisten dan harus diperbaiki total, yakni cerpen Dhimas Bagus Satrio Mudo. Cerpen ini semula memakai sudut pandang orang ketiga tunggal bernama Dian dalam 1/3 cerita apalagi pada awal cerpen. 2/3 berikutnya memakai sudut pandang orang pertama tunggal (“aku”).

Tokoh atau Penokohan
Keterlibatan langsung tokoh utama pada pembukaan cerpen sudah terlihat di ke-14 cerpen. Ini menandakan bahwa penempatan tokoh utama sebagai tokoh sentral (protagonis) sudah dimengerti oleh para peserta. Paling tidak, sesuai dengan teori pemetaan tubuh cerpen menurut Jakob Sumardjo (1997).

Mengenai karakter tokoh (penokohan), tokoh utama sebagian besar (11 cerpen) adalah BMI, termasuk cerpen Antara Dua Pilihan yang ditokohi oleh Arif (bukan BMI wanita). 3 cerpen lainnya bukan seorang BMI, yaitu Reza – anak seorang BMI (cerpen Ibuku seorang BMI), seorang kawan (cerpen Bukan Sebuah Epilog), dan seorang gadis yang gagal meraih cinta (cerpen Cinta Raihana).

Dari ke-14 cerpen, cerpen Wanita Sumo menampilkan tokoh utama dengan karakter (penokohan) yang unik-manusiawi. Karakter orang kampung yang belum lama tinggal di kota besar, keinginan bergaya seperti gadis-gadis kota tapi yang ditampilkannya justru kenorakan, serta kejadian yang mempertegas kekampungannya.

Sementara satu penokohan cerpen lainnya masih harus dihayati kembali, yaitu tokoh Arif dalam cerpen Antara Dua Pilihan. Arif adalah seorang pemuda, yang sudah bekerja hingga ke Korea. Sayangnya pemuda ini berkarakter melankolis sekali, misalnya air mata berderai, bertanya pada bantal dan guling secara lirih dan amat menyayat hati, dan lain-lain. Padahal disebutkan bahwa Arif sudah dewasa dan kini dia bertambah dewasa setelah enam tahun menjadi TKI di Korea.

Alur/Plot Cerita
Ke-14 cerpen dibuka secara variatif. 7 cerpen (50 %) dibuka dengan ucapan/dialog. 3 cerpen dibuka dengan latar waktu (setahun, tujuh tahun, dan sepuluh Januari), 2 cerpen dibuka dengan latar suasana (hujan malam, dan sunyi malam), 1 cerpen dengan tokoh (namaku Reza), dan 1 cerpen dibuka dengan latar tempat (ruang) dan suasananya (ruang keluarga).

Penggunaan jenis alur/plot pun variatif, meski alur cerita kronologis-progresif lebih banyak dipakai (10 cerpen). Sementara lainnya, 3 cerpen, bermain dengan regresif (kilas balik atau flashback), dan 1 cerpen menyisipkan sedikit kilas balik. Kilas balik pun terbagi lagi. 2 cerpen (cerpen Hati Yang Tergadaikan, dan cerpen Awal Cerita Yang Kusimpan) berkilas balik cerita selama bekerja, 1 cerpen (cerpen Karma) berkilas balik cerita keluarga di kampung halaman, dan 1 cerpen lagi (cerpen Hari Kemenangan Di Negeri Beton) berkilas balik lebih jauh yakni mengenang orangtua yang telah tiada.

Menurut sifatnya (akhir cerpen), sebagian besar (13 cerpen) menggunakan alur tertutup. Cerpen-cerpen tersebut diakhiri dengan penutup (kesan selesai) yang jelas, yaitu berupa petuah-petuah, kesimpulan, dan semangat menyiasati hidup tokoh. Selesai sampai di situ.

Satu-satunya cerpen yang menggunakan alur terbuka terlihat pada akhir cerita adalah cerpen Antara Dua Pilihan. Cerpen ini ditutup dengan suara seorang anak menyambut kedatangan Arif (tokoh utama). Selanjutnya, apakah Arif mau minta maaf untuk berpisah dan memenuhi kehendak orangtuanya sebagai bukti kepatuhan, ataukah mau menikahi ibu anak itu, tidak jelas. Pembaca diberi kebebasan untuk menyelesaikan cerpen itu dengan apa pun.

Latar
Ke-14 cerpen berlatar tempat (daerah, geografis) yang berbeda-beda. 7 cerpen berlatar daerah perantauan (Hongkong), 5 cerpen berlatar Indonesia, dan 2 cerpen tidak berlatar daerah. Namun latar tempat secara spesifik belumlah tergarap secara optimal.

Coba baca latar berikut ini. Di pojokan jalan, di samping toko 7-11 yang buka 24 jam, aku berdiri. Dua buntalan kantong plastik sampah berwarna hitam berukuran sedang teronggok di sampingku. Sepasang sandal jepit usang bermerek swallow menopang tubuhku. Menggigil tubuhku yang hanya berbalut celana pendek dan kaos oblong. Air hujan rupanya tak mau berbelas kasih untuk sekedar menghindar dari tubuh kecilku (cerpen Awal Cerita Yang Kusimpan).

Penggalan latar tersebut mewakili beberapa cerpen lainnya. Artinya, keberadaan latar tempat dan suasana dalam cerpen sudah dipahami oleh sebagian peserta untuk membangun sebuah cerita yang utuh, kuat, menarik, dan memberi peluang bagi imaji pembaca. Sayangnya latar yang tergarap bagus belum terlihat pada sebagian cerpen lainnya.

Latar lainnya, semisal budaya, tampaknya belum dianggap sebagai bahan menarik untuk diolah. Padahal latar budaya, khususnya di perantauan, dapat menjadi salah satu kekuatan cerpen, apalagi jika cerpen tersebut dibaca oleh orang-orang di seluruh dunia.

Kreativitas
Kreativitas dalam sebuah cerpen adalah keseluruhan, mulai dari judul, alur cerita, sudut pandang, ketegangan (suspend), karakter tokoh yang manusiawi, pemakaian bahasa yang apa adanya sampai akhir cerita.

Judul seringkali menjadi pemikat. Ibarat setangkai mawar (dalam posisi normal/tegak), judul adalah bunganya. Pengarang harus mempertimbangkan dan mengreasikan aspek judul sebagai daya pikat pertama bagi pembaca. “Wanita Sumo”, “Awal Cerita Yang Kusimpan”, dan “Aku Mencintai Anakmu” merupakan judul-judul cerpen yang cukup menggoda, memancing imajinasi, dan membuat penasaran. “Hati Yang Tergadaikan”, “Antara dua Pilihan”, “Cinta Raihana”, dan “Impian Seorang Dewi” terkesan “gaya sinetron Indonesia”. “Bukan Sebuah Epilog”, “Karma”, “Hari Kemenangan Di Negeri Beton”, dan “Ibuku Seorang BMI” masih kurang meyakinkan, sama halnya dengan cerpen “Dhimas Bagus Satrio Mudo”. Dua judul cerpen lainnya yang cukup disayangkan adalah “Bertepuk Sebelah Tangan” yang menjadikan tema sebagai judul, dan “(Tak Berjudul)” yang memperlihatkan si pengarang kebingungan.

Untuk pengolahan tema, isi atau makna, penokohan, dan seterusnya sudah sedikit disinggung sebelumnya. Sebaiknya para cerpenis membiasakan bercerita dengan penggambaran (showing), bukan dengan penerangan/penjelasan (telling) pada karakter tokoh, sikap dan latar. Dengan melakukan penggambaran (showing), semisal tokoh wanita sumo untuk menyebutkan betapa gembrot wanita itu, imajinasi pembaca digiring pada sosok yang ingin disampaikan oleh pengarang.

Namun yang belum tergarap secara mantap adalah penyelesaian atau akhir cerita. Penyelesaian berupa kesimpulan dan petuah-petuah memang sering dilakukan dan ditujukan bagi pembaca tertentu, misalnya anak-anak, murid-murid, dan pembaca yang kurang berpikir. Oleh karenanya, kesimpulan dengan petuah-petuah semacam itu sebaiknya dihindari. Biarkan makna cerpen atau hikmah hidup dalam cerpen ditemukan oleh pembaca sendiri.

Dan untuk memberi kesan yang utuh, pada bagian penyelesaian dapat dilakukan dengan sebuah kejutan (surprise). Kejutan bukan mengada-ada, melainkan tetap menjadi satu-kesatuan dengan cerita. Surprise ini dapat meninggalkan kesan khusus bagi pembaca.

***

Demikian “secoret catatan cacat” yang mencoba menikmati sedikit rasa dari 14 cerpen yang diikutkan dalam Lomba Menulis Cerpen Teater Angin. Kreativitas yang sudah muncul dalam cerpen-cerpen peserta sebaiknya lebih dikembangkan. Tidak ada kata terlambat dalam berproses. Dan tidak ada karya seni yang terbaik-mutlak apabila para peserta tekun belajar, berlatih, bertanding, dan berdiskusi dengan cerpenis-cerpenis hebat.

*******
Balikpapan, April 2010

*) Sebagian pernah dimuat di Suara Indonesia, Hongkong, 04 June 2010

Ngobrolin Yam Cha

Halo ? Lagi di mana ? Ditelpon, nggak mau ngangkat. Kayaknya sibuk banget nih ?

Ya. Sekarang sedang berada di Teater Angin Hongkong. Sorry, kebetulan ketemu delapan perempuan BMI. Mereka sedang berkumpul di sebuah meja berukuran 14,8 cm X 20,9 cm. Meja bertaplak hijau itu mereka buat sendiri lho. Sudah gitu, mereka hias sendiri, dan atur sendiri. 99% mereka kelola sendiri!

Haduhbiyuh, untuk apa sih, kok sampai serepot itu ?

Untuk ber-yam cha sambil ngobrol ngalor-ngidul, yang menghabiskan 224 halaman.

Ber-Yam Cha sampai 224 halaman? Siapa sajakah mereka ?

Aliyah Purwati, Ally Dalijo, El Nisya Mahendra, Geppy Heny Setyowati, Mega Vristian, Noena Fadzila, Ratna Khaerudina, dan Sreismitha Wungkul.

Wah! Nama-nama yang terkenal lewat karya-karya yang pernah dimuat di media massa. Memangnya apa sajakah yang mereka obrolkan ?

Cerita pendek alias cerpen, puisi, monolog mini, pengalaman pribadi, dan esai.

Boleh tahu yang lengkapnya ?

Boleh. Aliyah Purwati melontarkan dua cerpen, dua esai, dan tiga puisi. Ally Dalijo melontarkan dua cerpen, lima puisi, satu monolog mini, dan dua esai. El Nisya Mahendra melontarkan lima cerpen dan delapan puisi. Geppy Heny Setyowati melontarkan tiga cerpen dan empat puisi. Mega Vristian melontarkan tiga cerpen, satu pengalaman pribadi, dan tiga puisi. Noena Fadzila melontarkan tiga cerpen dan dua puisi. Ratna Khaerudina melontarkan tiga cerpen dan tiga puisi. Sreismitha Wungkul melontarkan satu cerpen dan dua puisi.

Jadi, keseluruhannya adalah 22 cerpen, 30 puisi, 4 esai, 1 kisah nyata dan 1 monolog mini. Bisa lebih spesifik ?

Mulai dari 22 cerpen yang ceritanya macam-macam. Dua di antaranya adalah cerpen yang terpilih dalam Lomba Menulis Cerpen Teater Angin Hong Kong beberapa bulan lalu, yaitu “Awal Cerita yang Kusimpan” karya Ally Dalijo, dan “Aku Mencintai Anakmu” karya Noena Fadzila.

Cerita “Awal Cerita yang Kusimpan”, kalau tidak keliru, cerita tentang seorang BMI yang terlibat cinta dengan tuannya. Terus, ketahuan oleh nyonyanya. Tapi nyonyanya bukannya marah sampai ngamuk, melainkan malah mengajaknya bergabung dalam….

Benar! Nah, kalau yang “Aku Mencintai Anakmu”?

Cerpen “Aku Mencintai Anakmu” bercerita tentang ikatan batin seorang BMI yang jadi babysitter dan anak majikannya karena kedekatan dan keterlibatan emosi keduanya, didukung kurangnya perhatian kedua majikannya.

Benar sekali. Total point sekarang 200.

Walah, kok jadi kayak kuis tanya-jawab sih ?

Hahaha… Tapi kalau ingatan terbatas dan mudah dilibas persoalan sehari-hari, di Yam Cha sudah terdokumentasi. Pernah baca cerpen “Bakso Ida di Pinggiran Victory Park”, karya Aliyah Purwati lainnya, yang dimuat sebuah koran di Jakarta, 2 Februari 2009 ?

Belum tuh. Hebat, sudah menembus harian itu. Memangnya ada di Yam Cha juga ?

O Jelas ada. Yam Cha gitu lho! Cerita cinta lainnya juga ada. Cinta yang terkhianati gara-gara si lelaki masih berstatus suami orang, diobrolkan Geppy Heny Setyowati dalam “Kidung Sunda”.

Itu resiko cinta jarak jauh, yang hanya lewat “kata-kata”. Kasus semacam ini seringkali terjadi di era selular dan internet. Terkadang kesepian menarik seseorang dalam suatu hubungan, sesaat sementara si penarik masih terikat dengan pasangan resminya.

Nah, begitulah kira-kira pesannya, meski tidak begitu dalam narasi dan dialognya.

Cerpen cinta berikutnya ?

“Bukan Episode Terakhir” karya Ratna Khaerudina. Tokoh utamanya, “aku” bernama Alex, bertabiat “terlalu percaya diri” karena kelebihan fisikal dan dukungan finansial keluarga. Teman sedaerah “aku”, seorang gadis bernama Maya, yang sangat peduli pada “aku”. Tetapi “aku” malah merasa terganggu oleh kehadiran gadis tomboy itu. “Aku” hidup sesuka hati. Main perempuan, ke pelacuran, dan aktif mengonsumsi narkoba. Maya tahu itu. Suatu hari “aku” mengalami kecelakaan akibat adu balap liar sehingga kaki “aku” harus diamputasi. Dan selama masa perawatan itu, Maya begitu telaten merawat “aku”. Lambat laun dalam diri “aku” tumbuh benih-benih cinta. Ketika “aku” mengungkapkan perasaan “aku”, Maya tegas menolak “aku” dan memilih pria lain.

Itu sih menolak tapi kemudian ditolak cinta.

Tepat sekali kesimpulannya! Dan masih ada cerita lain, yang diobrolkan oleh Sreismitha Wungkul dengan judul “Taman Sunyi”.

Sebentar, sebentar. Judulnya “Taman Sunyi”. Kesannya, suatu keindahan tapi suasana terasa sepi, sunyi…

Ya, ya, ya, judul sudah menampilkan imajinasi itu. Tepatnya dalam cerpen itu, tokoh utamanya “aku”, yang “dilangkahi” oleh adik-adik “aku” yang minta ijin untuk menikah. Sementara “aku” dengan usia yang kian menanjak, tak juga mendapat kunjungan cinta pria.

Wah, asik ya, ceritanya bermacam-macam! Tapi cerita horor, ada nggak ?

Ketahuan, suka nonton film horor atau cerita-cerita begituan, ya? Tapi nggak apa-apa, cerita horor memang akrab dalam perbincangan sebab “dunia gaib” adalah dunia nyata juga. Maksudnya, nyata dalam kehidupan kita. Nah, dalam Yam Cha, ada dua cerpen semacam itu, dibuat oleh El Nisya Mahendra. “Misteri Lift Nomor 50” dan “Ketukan Malam Ketiga”.

Nggak jadi, ah. Pasti serem ! Ganti topik !

Hahahaha… Tadi nanya, lha kok sekarang minta ganti topik. Ya sudah, daripada jadi mimpi buruk, takut jalan ke mana-mana.

Trims atas pengertiannya. Nah, bagaimana dengan obrolan yang serius, yang bukan fiktif ?

Ada 5 esai mungkin cukup mudah untuk dipahami. Ambil contoh, Aliyah Purwati yang mengobrolkan kegiatan pengajian di kalangan BMI Hongkong dan diberinya judul “Islam dan Fenomena Pengajian di Hong Kong”.

Coba dong beri bocoran dari obrolannya Aliyah ?

Aliayah secara blak-blakkan menuturkan, “Pengajian di kalangan BMI Hong Kong terhitung sangat marak. Hampir tiap minggu ada acara pengajian dengan mendatangkan penceramah atau ustadz dari Indonesia.”

Terus ?

“Sudah bukan rahasia lagi jika sebuah organisasi Islam di Hong Kong mengadakan sebuah acara pengajian, jama’ah yang hadir diwajibkan membayar uang dalam jumlah tertentu, tergantung di mana acara diadakan. Di masjid atau aula sekolah biasa, membayar HK$ 50-60. Di gedung besar seperti teater atau stadion, jama’ah harus membayar HK$ 100. Bayaran tersebut biasa mereka sebut “INFAQ”. Kenapa tidak bilang itu sebagai “tiket masuk” saja? Bukankah yang namanya infaq itu sukarela?”

Ada ayat-ayat Al Quran, Hadist Nabi, dan pengertian dalam bahasa Indonesianya, nggak?

Sayangnya Aliyah tidak menyertakan itu. Paling tidak satu-dua ayat untuk menegaskan esainya, serta mengingat kita kepada ajaran dasar.

Sayang sekali, ya? Terus, realita apa lagi yang diungkapkan Aliyah ?

“Kondisi ini,” lanjutnya, “diperparah lagi dengan adanya penceramah-penceramah yang didatangkan dari tanah air tersebut dan memasang tarif tertentu. Beberapa dari mereka minta hotel VIP untuk menginap.” Pada akhir esainya Aliyah berujar, “Aku tidak menyalahkan…, asalkan hasilnya digunakan dengan benar.”

Selain soal agama dan aplikasi, ada yang bicara soal perempuan ?

O, ada. Ally Dalijo ngobrol tentang Kartini, emansipasi wanita, bahkan wanita di dunia. Dalam obrolan “Emansipasi dalam Ultah ke-100 Women’s Day” yang sebelumnya dimuat oleh sebuah koran Indonesia di Hongkong, Allly Dalijo mengangkat Hari Perempuan Dunia atau dalam bahasa Inggrisnya “Women’s Day” yang diperingati setiap 8 Maret oleh perempuan di seluruh dunia. Kemudian dia ngobrol di “Hari Kartini, Emansipasi, dan Buruh Migran Indonesia”.

Oh ya, kalau tidak keliru, Ally Dalijo juga bilang, “Kartini-kartini Indonesia, buruh migran perempuan Indonesia, saat ini kalian masih terjajah oleh pemerintah sendiri, oleh peraturan-peraturannya, peraturan-peraturan ketenagakerjaan yang sangat diskriminatif, terjajah oleh agen yang menggorok leher dengan tingginya biaya yang harus dibayar, terjajah oleh sikap dan kepentingan majikan, terjajah oleh kondisi kerja yang tidak mengenal waktu.”

Benar sekali! Wah, point terkumpul sudah banyak nih!

Lho, kok kembali ke soal pengumpulan point sih ? Serius nih !

Oke, oke, serius. Jangan sewot begitu dong.

Obrolan kisah nyata dari pengalaman pribadi, yang bisa memotivasi perempuan, adakah ?

Itu bagiannya Mega Vristian. Sebuah pengalaman pribadi menakjubkan tentang kiprah seorang BMI di depan orang-orang pintar di Hong Kong dalam obrolan berjudul “Her Story My Story; Jeritannya Jeritanku”. Waktu itu di The Chinese University of Hong Kong, Mega menggantikan rekannya yang berhalangan hadir sebagai pembicara, meski kondisi kesehatan Mega sendiri sedang tidak mendukung. Acaranya, mahasiswa universitas itu ingin membuat film tentang BMI di Macau, yang akan diputar di kampus mereka. Acara tersebut juga menghadirkan pembicara-pembicara bergelar profesor dan master. Antusiasme mahasiswa yang bagus ketika Mega tampil hingga acara selesai justru menjadi obat mujarab bagi kondisi kesehatannya.

Wah, kalau Mbak Mega, jelas mantap ! Lebih dari 15 tahun dia menjadi BMI di Hongkong. Teater Angin Hongkong, kan, dia juga yang dirikan pada tahun 2009 ?

Memang betul sekali! Mega juga menuturkan, “Mereka, mahasiswa itu, ternyata juga kaget ketika mengetahui bahwa banyak BMI yang menerbitkan karyanya dalam bentuk buku. Mereka berpesan, karya tulis para BMI diterjemahkan ke bahasa Inggris agar lebih banyak lagi orang yang memahami tulisan para BMI.”

Keren banget !

Barangkali saja pengalaman Mega bisa memotivasi kawan-kawan BMI untuk tekun menulis dan tetap percaya diri dalam kesederhanaan meski pendidikan tidak seheboh orang-orang pintar minimal bergelar sarjana.

Tadi cerpen, sudah. Esai, sudah juga. Lalu, pengalaman pribadi yang memberi inspirasi dan motivasi. Puisi-puisi dalam Yam Cha, bagaimana ?

Ada 30 puisi di Yam Cha tapi beberapa saja di sini. Contoh pertama, masih ingat evaluasi 100 hari masa kerja Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II ?

Masih ingat. Lantas ?

Ada dalam puisi “100 Hari”. Sebagian isinya, “100 hari / cangkemmu berceramah / hingga berbusa // ratusan juta rakyat menunggu realisasimu / namun nuranimu semakin mati / tak berbentuk lagi // 100 hari / bait-bait sajak negriku pun semakin ngilu ///”

Hihihi… 100 hari cangkemmu berceramah, 100 hari bait-bait sajak negriku pun semakin ngilu.

Ada lagi, puisi “Badut Layar Kaca” karya Geppy Heny Setyowati, yang dibuatkan dalam tiga bagian. Bagian pertama saja, ya. layar kaca memaksa terpaku menelanjangi / setiap kabar tersiar takmemberi sedetik waktu / berpikir bahkan berpaling / gambar bergerak berkejaran membekas dalam ingatan / berjajar hendak berebut pandang dan tersadar / ternyata bualan badut-badut tuan perankan / luput dari rekaan //.

Puisi sederhana tapi menukik telak.

Khas sastra Buruh Migran Indonesia. Bermanis kata tidak lagi menjadi ritual wajib sebab basa-basi sebatas dusta, bukan realita. Kalau filosofi “keris” yang meliuk-liuk laksana tarian namun berujung kematian, jelas “keindahan” dalam pergaulan para priyayi atau bangsawan. Kelas yang disembah-sembah. Tapi ingat Wiji Thukul, kan?

Jelas ingat! Satu kata : lawan!

Begitu pula puisi-puisi yang tergabung dalam Yam Cha. Cukup itu dulu ya?

Oke deh. Tapi, kata orang, dalam banyak bicara, banyak pula salahnya. Nah, bagaimana dengan obrolan mereka ?

Memang sih ada beberapa obrolan yang salah kata, dan berulang dilakukan. Misalnya “takkan”, “takbisa”, “takingin”, “takpernah”, dan lain-lain. Kata-kata pleonasme juga ada, semisal “menggelengkan kepala”. Kata ulang, tanda baca, dan lain sebagainya.

Tugas pemeriksa aksara belum optimalkah ?

Tidak ada pemeriksa aksara. Sebenarnya, meski tanpa pemeriksa aksara, si pencipta terlebih dulu memeriksa obrolannya sendiri. Baru kemudian tugas pemeriksa aksara. Karena di sini ada delapan pencipta, alangkah baiknya semua obrolan dimatangkan. Jika kedelapannya masih membutuhkan bantuan pemeriksa aksara, itu bagus juga. Tapi di Yam Cha ini kita harus memakluminya. Itu teknis saja. Mungkin lupa karena hari-hari mereka lebih banyak bekerja. Dengan berbagi waktu untuk ngobrol begitu saja sudah bagus mereka meluangkan waktu. Sedangkan untuk fasih berkata-kata, semua ada prosesnya. Semangat belajar dan berlatih para BMI sudah bagus. Hanya butuh bimbingan yang intens dan telaten.

Kira-kira, kalau untuk koleksi pribadi, bagaimana ?

Jangankan untuk koleksi pribadi, obrolan delapan perempuan BMI Hongkong ini juga pas jadi oleh-oleh untuk keluarga di Indonesia. Keluarga di Indonesia bisa mengetahui bahwa kegiatan BMI di Hongkong bukan cuma “bekerja kasar” dan “berdevisa besar” tapi juga berkarya sastra atau kegiatan lainnya, yang berfaedah. Selain itu, cocok sekali bagi orang di Indonesia, yang sama sekali belum atau tidak pernah mengalami kehidupan seperti mereka. Bagi yang tidak akan keluar dari Indonesia, oleh-oleh ini cocok juga untuk meluaskan wawasan. Tidak terlalu susah untuk membaca dan memahami isinya. Bagi pemerhati sastra, Yam Cha juga bagus untuk bahan penelitian.

Kok malah jadi makelar buku, bukannya bikin resensi ?

Lho, ini, kan lagi ber-Yam Cha. Lagi santai. Ngobrol ngalor-ngidul, bebas-bebas saja dong. Tidak ada aturan terstruktur begini-begitu. Ini resensi sambil ber-Yam Cha.

Iya juga, ya ?

Nah, sekarang, tertarik nimbrung, nggak? Kalau tertarik, datanglah segera! Teh sudah dituang ke cangkir. Masih panas. Tinggal diseruput saja. Terlalu manis atau tawar, silakan sampaikan nanti kalau sudah mencicipinya. Mari kita ber-Yam Cha!

-o0o-

Balikpapan, 05 Juli 2010

Membaca Luka Tanah Priok

Memang, puisi-puisi yang dimuat dalam buku antologi ini masih sederhana bahkan jauh dari kata sempurna karena banyak penulis dalam buku ini baru belajar menulis puisi dan memaknai rasa cinta terhadap sastra Indonesia, memacu semangat untuk menghidupkannya dengan jalan berkarya sastra, yang mereka lakukan di sela kesibukan kerja dan hantaman kerasnya hidup di negeri kembara.”

-- Penerbit Dragon Family, Mei 2010 --

“Luka Tanah Priok” merupakan kumpulan 31 puisi dari 31 pemuisi sebagai wujud apresiasi para pekerja (buruh) migran Indonesia (BMI) di Hongkong terhadap Peristiwa Priok atau Tragedi Tanjung Priok pada hari Rabu, 14 April 2010. Para BMI – di Indonesia akrab disebut pembantu rumah tangga, babu, bahkan jongos ini sebagian bergabung dalam dua wadah bernama Teater Angin (TA) dan Forum Lingkar Pena Hongkong (FLP HK).

Nama komunitas FLP jelas sudah tenar di kalangan sastrawan di Indonesia. Kemudian FLP melebarkan sayapnya ke luar negeri, salah satunya Hongkong. Dalam buku ini mencantumkan enam anggota FLP HK, yaitu Indira Margareta (“Bunga Bangsa Terluka”), Ivone Zahra (“Duka Priok”), Maqhia Nisima (“Salah Siapa?”), Susie Utomo (“Aku Jadi Peri Saja”), Tharie Rietha (“Negeri Berdarah”), dan Widya Arum (“Adegan Koja”). Menurut informasi dari seorang kawan BMI Hongkong, FLP HK seringkali mengadakan workshop kepenulisan, diskusi sastra dan pelatihan-pelatihan lainnya.

Sementara TA didirikan oleh sebagian BMI – tidak ada ahli atau guru sastra di dalamnya – pada Agustus 2009. Dalam buku ini tercantum delapan anggota TA, yakni El Sahra Mahendra (“Bilur Luka Untuk Koja 1”), Geppy Angin (“Suhada Periok”), Mega Vristian (“Tanjung Priok Berdarah”), Muntamah Cendani (“Mbah Priok”), Noena (“Manuskrip Luka Perempuan Priok”), Ratna Khaerudina (“Buat Tanjung Priok”), Sreismitha Wungkul (“Trauma”), dan Yany Wijaya Kusuma (“Krisis Moral”).

Selebihnya, tujuh belas lainnya berada di luar kedua komunitas tersebut. Dan total BMI dalam buku ini 31 orang, yang keseluruhannya adalah perempuan. Dalam biodata mereka, tidak ada satu pun BMI yang berijazah Sarjana Sastra, ataupun alumni Fakultas Kejuruan dan Ilmu Pendidikan bidang Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Oleh karenanya, membaca 31 puisi karya mereka beserta latar belakang pendidikan, pekerjaan dan pergaulan sehari-hari, sangat tidak adil jika menggunakan katalisator sastra Indonesia dengan segala esensi, substansi, ataupun kualifikasinya. Namun tidak benar pula menafikkan katalisator tersebut sebab puisi merupakan bagian dari sastra, dan mempunyai disiplin-displin khusus.

Dosen Intercultural Communication Fakultas Kejuruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Ibnu Khaldun Bogor, Cunong Nunuk Suraja mengatakan, “… sebuah puisi tercipta tidak melulu mengandalkan kekuatan emosi tetapi juga pemahaman akan adanya rima, aliterasi, simile maupun metafora.”

Istilah-istilah dalam penulisan puisi – rima, aliterasi, simile maupun metafora – yang disebutkan oleh Cunong bukanlah istilah umum dalam pembicaraan BMI selama ini. Mungkin “rima” masih diingat oleh mereka, setidaknya pernah mengenyam pendidikan Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah. Itu pun belum tentu seluruh guru SD, SMP maupun SMA bidang Bahasa dan Sastra Indonesia mampu menciptkan atau juga mengupas puisi-puisi dengan mutu memadai, termasuk pemahaman istilah aliterasi, simile, metafora, serta istilah-istilah sastra lainnya.

Kemudian di kalangan BMI, yang dalam pekerjaan seheriannya lebih kita kenal dengan sebutan babu atau jongos, dengan waktu-waktu yang tidak bisa disusun sebagaimana layaknya pekerja kantoran, atau apa saja yang bisa kita bayangkan sebagai pekerjaan yang tertata dalam waktu-waktu dan tugas-tugasnya selama 6 sampai 8 jam satu hari. Untuk bisa membagi waktu untuk membaca, mencipta dan mendalami puisi, tentunya hanya bisa dilakukan ketika, 1) majikan dan anak-anak mereka pergi atau tidur, meski dalam rentang waktu tersebut seorang babu justru sedang sibuk membereskan pekerjaan. 2) libur satu hari dalam satu minggu, yang cenderung dipergunakan sepenuhnya untuk menghibur diri karena posisi babu tidak lebih dari orang jajahan yang dipaksa kerja keras dalam aturan dan kesewenangan majikan yang menampungnya. Nah, bagaimana mereka harus benar-benar memahami sekaligus mendalami hal-hal dalam puisi?

Kalau dalam dunia arsitektur, ada istilah-istilah arsitektur, misalnya point of interest, main entrance, public entrance, service entrance, semi public, private area, mekanika, site plan, core, elevator, cross circulation, dorik, art deco, estetika arsitektural, dimensi, unity, dan lain-lain yang belum tentu dimengerti oleh para pekerja bangunan yang sudah berpuluh tahun menghasilkan aneka bangunan. Sebaliknya, tidak semua arsitek mengerti bagaimana menentukan titik nol, siku-siku bangunan, memasang bata, menggunakan selang air, waterpass, dan lain-lain.

Lantas, ketika puisi menjadi sebuah menara gading yang tegak berdiri di tengah sebuah benteng ekslusif yang dijaga ketat oleh bala tentara teori bersenjata istilah-istilah canggih dan mutakhir, oleh dan untuk siapakah puisi ? Dan ketika para BMI Hongkong menggandrungi sastra termasuk puisi, sampai kapan mereka harus menunggu kedatangan para pengajar sastra dan puisi di sela rutinitas kerja keras sehari-hari ?

Maka, untuk membaca “Luka Tanah Priok” berkaitan dengan realitas para pemuisi dan realitas peristiwa yang terungkap dalam puisi, persoalan teori sastra yang begini-begitu seyogyanya dimaklumi. Teks puisi menjadi lebih utama dalam fungsinya sebagai bahasa jiwa pemuisi. Beberapa cuplikan puisi cukup menarik ketika dirangkaikan, seperti yang dapat dibaca di bawah ini.

Tragedi berulang ini

sebuah bukti kedaulatan yang cacat

(cuplikan dari puisi “Priok : Catatan Darah” karya Ally Dalijo)

Mata mereka tuli oleh luka menganga

Telinga mereka buta rintihan perih bocah

(cuplikan dari puisi “Duka Priok” karya Ivone Zahra)

Negeriku menangis

Hatiku teriris

(cuplikan dari puisi “Amarah Tanjung Priok” karya Etik Widya)

Apakah negeriku sudah begitu ngeri?

(cuplikan dari puisi “Bilur Duka Untuk Koja 1” karya El Sahra Mahendra)

Kuburan tempatku main petak umpet

Dibuat main perang-perangan oleh bapak dan tetangga

(cuplikan dari puisi “Tanya Seorang Bocah” karya Chinta Lili)

Saat jerit dan teriakan meregang nyawa

Tak jua berhenti pelatuk senjata

(cuplikan dari puisi “Suhada Periok” karya Geppy Angin)

Bernafas dalam satu kotak

Hilang arah tempat berpijak

Nafsu enggan beranjak

Tak peduli hati berteriak

(cuplikan dari puisi “Jeritan Untuk Indonesiaku” karya Allaina Muktie)

Nafas patah-patah

Memburu angkara

(cuplikan dari puisi “Bunga Bangsa Terluka” karya Indira Margareta)

Hidup lebih mengerikan daripada mati

(cuplikan dari puisi “Trauma” karya Sreismitha Wungkul)

Beberapa cuplikan di atas menunjukkan niat, semangat, dan usaha serius mereka dalam mencipta puisi. Kalau kembali disandingkan dengan “siapa” mereka, selayaknya puisi mereka mendapat apresiasi yang memadai. Soal pemahaman puisi yang lebih mendalam, merupakan bagian yang seiring dengan proses penciptaan puisi yang memang mau-tidak mau harus pula mereka pelajari, baik melalui diskusi-diskusi, pelatihan-pelatihan, maupun membaca buku teori dan puisi para pemuisi yang mutunya sudah diakui dunia agar nantinya tercipta puisi-puisi yang lebih bermutu. Ini pun, mau-tidak mau, sepatutnya menjadi tanggung jawab moral bagi kalangan yang sungguh-sungguh memiliki ilmu tinggi mengenai puisi untuk membantu mereka.

Di sisi lain, komentar yang miris-sinis terhadap niat-usaha serius mereka dilontarkan oleh Loektamadji A. Poerwaka (dalam “Komentar Kawan-kawan Penulis Di Tanah Air”, hal.73), “Seperti anak-anak ketika mendeskripsikan sesuatu… sederhana dan apa adanya… indahkah? Baguskah?... ya terserah saja kepada pembaca..” Apa boleh buat. Begitulah komentar yang kekanak-kekanakan.

*******

Balikpapan, 23 Juni 2010