Kamis, 08 Desember 2011

Membaca Luka Tanah Priok

Memang, puisi-puisi yang dimuat dalam buku antologi ini masih sederhana bahkan jauh dari kata sempurna karena banyak penulis dalam buku ini baru belajar menulis puisi dan memaknai rasa cinta terhadap sastra Indonesia, memacu semangat untuk menghidupkannya dengan jalan berkarya sastra, yang mereka lakukan di sela kesibukan kerja dan hantaman kerasnya hidup di negeri kembara.”

-- Penerbit Dragon Family, Mei 2010 --

“Luka Tanah Priok” merupakan kumpulan 31 puisi dari 31 pemuisi sebagai wujud apresiasi para pekerja (buruh) migran Indonesia (BMI) di Hongkong terhadap Peristiwa Priok atau Tragedi Tanjung Priok pada hari Rabu, 14 April 2010. Para BMI – di Indonesia akrab disebut pembantu rumah tangga, babu, bahkan jongos ini sebagian bergabung dalam dua wadah bernama Teater Angin (TA) dan Forum Lingkar Pena Hongkong (FLP HK).

Nama komunitas FLP jelas sudah tenar di kalangan sastrawan di Indonesia. Kemudian FLP melebarkan sayapnya ke luar negeri, salah satunya Hongkong. Dalam buku ini mencantumkan enam anggota FLP HK, yaitu Indira Margareta (“Bunga Bangsa Terluka”), Ivone Zahra (“Duka Priok”), Maqhia Nisima (“Salah Siapa?”), Susie Utomo (“Aku Jadi Peri Saja”), Tharie Rietha (“Negeri Berdarah”), dan Widya Arum (“Adegan Koja”). Menurut informasi dari seorang kawan BMI Hongkong, FLP HK seringkali mengadakan workshop kepenulisan, diskusi sastra dan pelatihan-pelatihan lainnya.

Sementara TA didirikan oleh sebagian BMI – tidak ada ahli atau guru sastra di dalamnya – pada Agustus 2009. Dalam buku ini tercantum delapan anggota TA, yakni El Sahra Mahendra (“Bilur Luka Untuk Koja 1”), Geppy Angin (“Suhada Periok”), Mega Vristian (“Tanjung Priok Berdarah”), Muntamah Cendani (“Mbah Priok”), Noena (“Manuskrip Luka Perempuan Priok”), Ratna Khaerudina (“Buat Tanjung Priok”), Sreismitha Wungkul (“Trauma”), dan Yany Wijaya Kusuma (“Krisis Moral”).

Selebihnya, tujuh belas lainnya berada di luar kedua komunitas tersebut. Dan total BMI dalam buku ini 31 orang, yang keseluruhannya adalah perempuan. Dalam biodata mereka, tidak ada satu pun BMI yang berijazah Sarjana Sastra, ataupun alumni Fakultas Kejuruan dan Ilmu Pendidikan bidang Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Oleh karenanya, membaca 31 puisi karya mereka beserta latar belakang pendidikan, pekerjaan dan pergaulan sehari-hari, sangat tidak adil jika menggunakan katalisator sastra Indonesia dengan segala esensi, substansi, ataupun kualifikasinya. Namun tidak benar pula menafikkan katalisator tersebut sebab puisi merupakan bagian dari sastra, dan mempunyai disiplin-displin khusus.

Dosen Intercultural Communication Fakultas Kejuruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Ibnu Khaldun Bogor, Cunong Nunuk Suraja mengatakan, “… sebuah puisi tercipta tidak melulu mengandalkan kekuatan emosi tetapi juga pemahaman akan adanya rima, aliterasi, simile maupun metafora.”

Istilah-istilah dalam penulisan puisi – rima, aliterasi, simile maupun metafora – yang disebutkan oleh Cunong bukanlah istilah umum dalam pembicaraan BMI selama ini. Mungkin “rima” masih diingat oleh mereka, setidaknya pernah mengenyam pendidikan Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah. Itu pun belum tentu seluruh guru SD, SMP maupun SMA bidang Bahasa dan Sastra Indonesia mampu menciptkan atau juga mengupas puisi-puisi dengan mutu memadai, termasuk pemahaman istilah aliterasi, simile, metafora, serta istilah-istilah sastra lainnya.

Kemudian di kalangan BMI, yang dalam pekerjaan seheriannya lebih kita kenal dengan sebutan babu atau jongos, dengan waktu-waktu yang tidak bisa disusun sebagaimana layaknya pekerja kantoran, atau apa saja yang bisa kita bayangkan sebagai pekerjaan yang tertata dalam waktu-waktu dan tugas-tugasnya selama 6 sampai 8 jam satu hari. Untuk bisa membagi waktu untuk membaca, mencipta dan mendalami puisi, tentunya hanya bisa dilakukan ketika, 1) majikan dan anak-anak mereka pergi atau tidur, meski dalam rentang waktu tersebut seorang babu justru sedang sibuk membereskan pekerjaan. 2) libur satu hari dalam satu minggu, yang cenderung dipergunakan sepenuhnya untuk menghibur diri karena posisi babu tidak lebih dari orang jajahan yang dipaksa kerja keras dalam aturan dan kesewenangan majikan yang menampungnya. Nah, bagaimana mereka harus benar-benar memahami sekaligus mendalami hal-hal dalam puisi?

Kalau dalam dunia arsitektur, ada istilah-istilah arsitektur, misalnya point of interest, main entrance, public entrance, service entrance, semi public, private area, mekanika, site plan, core, elevator, cross circulation, dorik, art deco, estetika arsitektural, dimensi, unity, dan lain-lain yang belum tentu dimengerti oleh para pekerja bangunan yang sudah berpuluh tahun menghasilkan aneka bangunan. Sebaliknya, tidak semua arsitek mengerti bagaimana menentukan titik nol, siku-siku bangunan, memasang bata, menggunakan selang air, waterpass, dan lain-lain.

Lantas, ketika puisi menjadi sebuah menara gading yang tegak berdiri di tengah sebuah benteng ekslusif yang dijaga ketat oleh bala tentara teori bersenjata istilah-istilah canggih dan mutakhir, oleh dan untuk siapakah puisi ? Dan ketika para BMI Hongkong menggandrungi sastra termasuk puisi, sampai kapan mereka harus menunggu kedatangan para pengajar sastra dan puisi di sela rutinitas kerja keras sehari-hari ?

Maka, untuk membaca “Luka Tanah Priok” berkaitan dengan realitas para pemuisi dan realitas peristiwa yang terungkap dalam puisi, persoalan teori sastra yang begini-begitu seyogyanya dimaklumi. Teks puisi menjadi lebih utama dalam fungsinya sebagai bahasa jiwa pemuisi. Beberapa cuplikan puisi cukup menarik ketika dirangkaikan, seperti yang dapat dibaca di bawah ini.

Tragedi berulang ini

sebuah bukti kedaulatan yang cacat

(cuplikan dari puisi “Priok : Catatan Darah” karya Ally Dalijo)

Mata mereka tuli oleh luka menganga

Telinga mereka buta rintihan perih bocah

(cuplikan dari puisi “Duka Priok” karya Ivone Zahra)

Negeriku menangis

Hatiku teriris

(cuplikan dari puisi “Amarah Tanjung Priok” karya Etik Widya)

Apakah negeriku sudah begitu ngeri?

(cuplikan dari puisi “Bilur Duka Untuk Koja 1” karya El Sahra Mahendra)

Kuburan tempatku main petak umpet

Dibuat main perang-perangan oleh bapak dan tetangga

(cuplikan dari puisi “Tanya Seorang Bocah” karya Chinta Lili)

Saat jerit dan teriakan meregang nyawa

Tak jua berhenti pelatuk senjata

(cuplikan dari puisi “Suhada Periok” karya Geppy Angin)

Bernafas dalam satu kotak

Hilang arah tempat berpijak

Nafsu enggan beranjak

Tak peduli hati berteriak

(cuplikan dari puisi “Jeritan Untuk Indonesiaku” karya Allaina Muktie)

Nafas patah-patah

Memburu angkara

(cuplikan dari puisi “Bunga Bangsa Terluka” karya Indira Margareta)

Hidup lebih mengerikan daripada mati

(cuplikan dari puisi “Trauma” karya Sreismitha Wungkul)

Beberapa cuplikan di atas menunjukkan niat, semangat, dan usaha serius mereka dalam mencipta puisi. Kalau kembali disandingkan dengan “siapa” mereka, selayaknya puisi mereka mendapat apresiasi yang memadai. Soal pemahaman puisi yang lebih mendalam, merupakan bagian yang seiring dengan proses penciptaan puisi yang memang mau-tidak mau harus pula mereka pelajari, baik melalui diskusi-diskusi, pelatihan-pelatihan, maupun membaca buku teori dan puisi para pemuisi yang mutunya sudah diakui dunia agar nantinya tercipta puisi-puisi yang lebih bermutu. Ini pun, mau-tidak mau, sepatutnya menjadi tanggung jawab moral bagi kalangan yang sungguh-sungguh memiliki ilmu tinggi mengenai puisi untuk membantu mereka.

Di sisi lain, komentar yang miris-sinis terhadap niat-usaha serius mereka dilontarkan oleh Loektamadji A. Poerwaka (dalam “Komentar Kawan-kawan Penulis Di Tanah Air”, hal.73), “Seperti anak-anak ketika mendeskripsikan sesuatu… sederhana dan apa adanya… indahkah? Baguskah?... ya terserah saja kepada pembaca..” Apa boleh buat. Begitulah komentar yang kekanak-kekanakan.

*******

Balikpapan, 23 Juni 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar