Kamis, 08 Desember 2011

Ngobrolin Yam Cha

Halo ? Lagi di mana ? Ditelpon, nggak mau ngangkat. Kayaknya sibuk banget nih ?

Ya. Sekarang sedang berada di Teater Angin Hongkong. Sorry, kebetulan ketemu delapan perempuan BMI. Mereka sedang berkumpul di sebuah meja berukuran 14,8 cm X 20,9 cm. Meja bertaplak hijau itu mereka buat sendiri lho. Sudah gitu, mereka hias sendiri, dan atur sendiri. 99% mereka kelola sendiri!

Haduhbiyuh, untuk apa sih, kok sampai serepot itu ?

Untuk ber-yam cha sambil ngobrol ngalor-ngidul, yang menghabiskan 224 halaman.

Ber-Yam Cha sampai 224 halaman? Siapa sajakah mereka ?

Aliyah Purwati, Ally Dalijo, El Nisya Mahendra, Geppy Heny Setyowati, Mega Vristian, Noena Fadzila, Ratna Khaerudina, dan Sreismitha Wungkul.

Wah! Nama-nama yang terkenal lewat karya-karya yang pernah dimuat di media massa. Memangnya apa sajakah yang mereka obrolkan ?

Cerita pendek alias cerpen, puisi, monolog mini, pengalaman pribadi, dan esai.

Boleh tahu yang lengkapnya ?

Boleh. Aliyah Purwati melontarkan dua cerpen, dua esai, dan tiga puisi. Ally Dalijo melontarkan dua cerpen, lima puisi, satu monolog mini, dan dua esai. El Nisya Mahendra melontarkan lima cerpen dan delapan puisi. Geppy Heny Setyowati melontarkan tiga cerpen dan empat puisi. Mega Vristian melontarkan tiga cerpen, satu pengalaman pribadi, dan tiga puisi. Noena Fadzila melontarkan tiga cerpen dan dua puisi. Ratna Khaerudina melontarkan tiga cerpen dan tiga puisi. Sreismitha Wungkul melontarkan satu cerpen dan dua puisi.

Jadi, keseluruhannya adalah 22 cerpen, 30 puisi, 4 esai, 1 kisah nyata dan 1 monolog mini. Bisa lebih spesifik ?

Mulai dari 22 cerpen yang ceritanya macam-macam. Dua di antaranya adalah cerpen yang terpilih dalam Lomba Menulis Cerpen Teater Angin Hong Kong beberapa bulan lalu, yaitu “Awal Cerita yang Kusimpan” karya Ally Dalijo, dan “Aku Mencintai Anakmu” karya Noena Fadzila.

Cerita “Awal Cerita yang Kusimpan”, kalau tidak keliru, cerita tentang seorang BMI yang terlibat cinta dengan tuannya. Terus, ketahuan oleh nyonyanya. Tapi nyonyanya bukannya marah sampai ngamuk, melainkan malah mengajaknya bergabung dalam….

Benar! Nah, kalau yang “Aku Mencintai Anakmu”?

Cerpen “Aku Mencintai Anakmu” bercerita tentang ikatan batin seorang BMI yang jadi babysitter dan anak majikannya karena kedekatan dan keterlibatan emosi keduanya, didukung kurangnya perhatian kedua majikannya.

Benar sekali. Total point sekarang 200.

Walah, kok jadi kayak kuis tanya-jawab sih ?

Hahaha… Tapi kalau ingatan terbatas dan mudah dilibas persoalan sehari-hari, di Yam Cha sudah terdokumentasi. Pernah baca cerpen “Bakso Ida di Pinggiran Victory Park”, karya Aliyah Purwati lainnya, yang dimuat sebuah koran di Jakarta, 2 Februari 2009 ?

Belum tuh. Hebat, sudah menembus harian itu. Memangnya ada di Yam Cha juga ?

O Jelas ada. Yam Cha gitu lho! Cerita cinta lainnya juga ada. Cinta yang terkhianati gara-gara si lelaki masih berstatus suami orang, diobrolkan Geppy Heny Setyowati dalam “Kidung Sunda”.

Itu resiko cinta jarak jauh, yang hanya lewat “kata-kata”. Kasus semacam ini seringkali terjadi di era selular dan internet. Terkadang kesepian menarik seseorang dalam suatu hubungan, sesaat sementara si penarik masih terikat dengan pasangan resminya.

Nah, begitulah kira-kira pesannya, meski tidak begitu dalam narasi dan dialognya.

Cerpen cinta berikutnya ?

“Bukan Episode Terakhir” karya Ratna Khaerudina. Tokoh utamanya, “aku” bernama Alex, bertabiat “terlalu percaya diri” karena kelebihan fisikal dan dukungan finansial keluarga. Teman sedaerah “aku”, seorang gadis bernama Maya, yang sangat peduli pada “aku”. Tetapi “aku” malah merasa terganggu oleh kehadiran gadis tomboy itu. “Aku” hidup sesuka hati. Main perempuan, ke pelacuran, dan aktif mengonsumsi narkoba. Maya tahu itu. Suatu hari “aku” mengalami kecelakaan akibat adu balap liar sehingga kaki “aku” harus diamputasi. Dan selama masa perawatan itu, Maya begitu telaten merawat “aku”. Lambat laun dalam diri “aku” tumbuh benih-benih cinta. Ketika “aku” mengungkapkan perasaan “aku”, Maya tegas menolak “aku” dan memilih pria lain.

Itu sih menolak tapi kemudian ditolak cinta.

Tepat sekali kesimpulannya! Dan masih ada cerita lain, yang diobrolkan oleh Sreismitha Wungkul dengan judul “Taman Sunyi”.

Sebentar, sebentar. Judulnya “Taman Sunyi”. Kesannya, suatu keindahan tapi suasana terasa sepi, sunyi…

Ya, ya, ya, judul sudah menampilkan imajinasi itu. Tepatnya dalam cerpen itu, tokoh utamanya “aku”, yang “dilangkahi” oleh adik-adik “aku” yang minta ijin untuk menikah. Sementara “aku” dengan usia yang kian menanjak, tak juga mendapat kunjungan cinta pria.

Wah, asik ya, ceritanya bermacam-macam! Tapi cerita horor, ada nggak ?

Ketahuan, suka nonton film horor atau cerita-cerita begituan, ya? Tapi nggak apa-apa, cerita horor memang akrab dalam perbincangan sebab “dunia gaib” adalah dunia nyata juga. Maksudnya, nyata dalam kehidupan kita. Nah, dalam Yam Cha, ada dua cerpen semacam itu, dibuat oleh El Nisya Mahendra. “Misteri Lift Nomor 50” dan “Ketukan Malam Ketiga”.

Nggak jadi, ah. Pasti serem ! Ganti topik !

Hahahaha… Tadi nanya, lha kok sekarang minta ganti topik. Ya sudah, daripada jadi mimpi buruk, takut jalan ke mana-mana.

Trims atas pengertiannya. Nah, bagaimana dengan obrolan yang serius, yang bukan fiktif ?

Ada 5 esai mungkin cukup mudah untuk dipahami. Ambil contoh, Aliyah Purwati yang mengobrolkan kegiatan pengajian di kalangan BMI Hongkong dan diberinya judul “Islam dan Fenomena Pengajian di Hong Kong”.

Coba dong beri bocoran dari obrolannya Aliyah ?

Aliayah secara blak-blakkan menuturkan, “Pengajian di kalangan BMI Hong Kong terhitung sangat marak. Hampir tiap minggu ada acara pengajian dengan mendatangkan penceramah atau ustadz dari Indonesia.”

Terus ?

“Sudah bukan rahasia lagi jika sebuah organisasi Islam di Hong Kong mengadakan sebuah acara pengajian, jama’ah yang hadir diwajibkan membayar uang dalam jumlah tertentu, tergantung di mana acara diadakan. Di masjid atau aula sekolah biasa, membayar HK$ 50-60. Di gedung besar seperti teater atau stadion, jama’ah harus membayar HK$ 100. Bayaran tersebut biasa mereka sebut “INFAQ”. Kenapa tidak bilang itu sebagai “tiket masuk” saja? Bukankah yang namanya infaq itu sukarela?”

Ada ayat-ayat Al Quran, Hadist Nabi, dan pengertian dalam bahasa Indonesianya, nggak?

Sayangnya Aliyah tidak menyertakan itu. Paling tidak satu-dua ayat untuk menegaskan esainya, serta mengingat kita kepada ajaran dasar.

Sayang sekali, ya? Terus, realita apa lagi yang diungkapkan Aliyah ?

“Kondisi ini,” lanjutnya, “diperparah lagi dengan adanya penceramah-penceramah yang didatangkan dari tanah air tersebut dan memasang tarif tertentu. Beberapa dari mereka minta hotel VIP untuk menginap.” Pada akhir esainya Aliyah berujar, “Aku tidak menyalahkan…, asalkan hasilnya digunakan dengan benar.”

Selain soal agama dan aplikasi, ada yang bicara soal perempuan ?

O, ada. Ally Dalijo ngobrol tentang Kartini, emansipasi wanita, bahkan wanita di dunia. Dalam obrolan “Emansipasi dalam Ultah ke-100 Women’s Day” yang sebelumnya dimuat oleh sebuah koran Indonesia di Hongkong, Allly Dalijo mengangkat Hari Perempuan Dunia atau dalam bahasa Inggrisnya “Women’s Day” yang diperingati setiap 8 Maret oleh perempuan di seluruh dunia. Kemudian dia ngobrol di “Hari Kartini, Emansipasi, dan Buruh Migran Indonesia”.

Oh ya, kalau tidak keliru, Ally Dalijo juga bilang, “Kartini-kartini Indonesia, buruh migran perempuan Indonesia, saat ini kalian masih terjajah oleh pemerintah sendiri, oleh peraturan-peraturannya, peraturan-peraturan ketenagakerjaan yang sangat diskriminatif, terjajah oleh agen yang menggorok leher dengan tingginya biaya yang harus dibayar, terjajah oleh sikap dan kepentingan majikan, terjajah oleh kondisi kerja yang tidak mengenal waktu.”

Benar sekali! Wah, point terkumpul sudah banyak nih!

Lho, kok kembali ke soal pengumpulan point sih ? Serius nih !

Oke, oke, serius. Jangan sewot begitu dong.

Obrolan kisah nyata dari pengalaman pribadi, yang bisa memotivasi perempuan, adakah ?

Itu bagiannya Mega Vristian. Sebuah pengalaman pribadi menakjubkan tentang kiprah seorang BMI di depan orang-orang pintar di Hong Kong dalam obrolan berjudul “Her Story My Story; Jeritannya Jeritanku”. Waktu itu di The Chinese University of Hong Kong, Mega menggantikan rekannya yang berhalangan hadir sebagai pembicara, meski kondisi kesehatan Mega sendiri sedang tidak mendukung. Acaranya, mahasiswa universitas itu ingin membuat film tentang BMI di Macau, yang akan diputar di kampus mereka. Acara tersebut juga menghadirkan pembicara-pembicara bergelar profesor dan master. Antusiasme mahasiswa yang bagus ketika Mega tampil hingga acara selesai justru menjadi obat mujarab bagi kondisi kesehatannya.

Wah, kalau Mbak Mega, jelas mantap ! Lebih dari 15 tahun dia menjadi BMI di Hongkong. Teater Angin Hongkong, kan, dia juga yang dirikan pada tahun 2009 ?

Memang betul sekali! Mega juga menuturkan, “Mereka, mahasiswa itu, ternyata juga kaget ketika mengetahui bahwa banyak BMI yang menerbitkan karyanya dalam bentuk buku. Mereka berpesan, karya tulis para BMI diterjemahkan ke bahasa Inggris agar lebih banyak lagi orang yang memahami tulisan para BMI.”

Keren banget !

Barangkali saja pengalaman Mega bisa memotivasi kawan-kawan BMI untuk tekun menulis dan tetap percaya diri dalam kesederhanaan meski pendidikan tidak seheboh orang-orang pintar minimal bergelar sarjana.

Tadi cerpen, sudah. Esai, sudah juga. Lalu, pengalaman pribadi yang memberi inspirasi dan motivasi. Puisi-puisi dalam Yam Cha, bagaimana ?

Ada 30 puisi di Yam Cha tapi beberapa saja di sini. Contoh pertama, masih ingat evaluasi 100 hari masa kerja Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II ?

Masih ingat. Lantas ?

Ada dalam puisi “100 Hari”. Sebagian isinya, “100 hari / cangkemmu berceramah / hingga berbusa // ratusan juta rakyat menunggu realisasimu / namun nuranimu semakin mati / tak berbentuk lagi // 100 hari / bait-bait sajak negriku pun semakin ngilu ///”

Hihihi… 100 hari cangkemmu berceramah, 100 hari bait-bait sajak negriku pun semakin ngilu.

Ada lagi, puisi “Badut Layar Kaca” karya Geppy Heny Setyowati, yang dibuatkan dalam tiga bagian. Bagian pertama saja, ya. layar kaca memaksa terpaku menelanjangi / setiap kabar tersiar takmemberi sedetik waktu / berpikir bahkan berpaling / gambar bergerak berkejaran membekas dalam ingatan / berjajar hendak berebut pandang dan tersadar / ternyata bualan badut-badut tuan perankan / luput dari rekaan //.

Puisi sederhana tapi menukik telak.

Khas sastra Buruh Migran Indonesia. Bermanis kata tidak lagi menjadi ritual wajib sebab basa-basi sebatas dusta, bukan realita. Kalau filosofi “keris” yang meliuk-liuk laksana tarian namun berujung kematian, jelas “keindahan” dalam pergaulan para priyayi atau bangsawan. Kelas yang disembah-sembah. Tapi ingat Wiji Thukul, kan?

Jelas ingat! Satu kata : lawan!

Begitu pula puisi-puisi yang tergabung dalam Yam Cha. Cukup itu dulu ya?

Oke deh. Tapi, kata orang, dalam banyak bicara, banyak pula salahnya. Nah, bagaimana dengan obrolan mereka ?

Memang sih ada beberapa obrolan yang salah kata, dan berulang dilakukan. Misalnya “takkan”, “takbisa”, “takingin”, “takpernah”, dan lain-lain. Kata-kata pleonasme juga ada, semisal “menggelengkan kepala”. Kata ulang, tanda baca, dan lain sebagainya.

Tugas pemeriksa aksara belum optimalkah ?

Tidak ada pemeriksa aksara. Sebenarnya, meski tanpa pemeriksa aksara, si pencipta terlebih dulu memeriksa obrolannya sendiri. Baru kemudian tugas pemeriksa aksara. Karena di sini ada delapan pencipta, alangkah baiknya semua obrolan dimatangkan. Jika kedelapannya masih membutuhkan bantuan pemeriksa aksara, itu bagus juga. Tapi di Yam Cha ini kita harus memakluminya. Itu teknis saja. Mungkin lupa karena hari-hari mereka lebih banyak bekerja. Dengan berbagi waktu untuk ngobrol begitu saja sudah bagus mereka meluangkan waktu. Sedangkan untuk fasih berkata-kata, semua ada prosesnya. Semangat belajar dan berlatih para BMI sudah bagus. Hanya butuh bimbingan yang intens dan telaten.

Kira-kira, kalau untuk koleksi pribadi, bagaimana ?

Jangankan untuk koleksi pribadi, obrolan delapan perempuan BMI Hongkong ini juga pas jadi oleh-oleh untuk keluarga di Indonesia. Keluarga di Indonesia bisa mengetahui bahwa kegiatan BMI di Hongkong bukan cuma “bekerja kasar” dan “berdevisa besar” tapi juga berkarya sastra atau kegiatan lainnya, yang berfaedah. Selain itu, cocok sekali bagi orang di Indonesia, yang sama sekali belum atau tidak pernah mengalami kehidupan seperti mereka. Bagi yang tidak akan keluar dari Indonesia, oleh-oleh ini cocok juga untuk meluaskan wawasan. Tidak terlalu susah untuk membaca dan memahami isinya. Bagi pemerhati sastra, Yam Cha juga bagus untuk bahan penelitian.

Kok malah jadi makelar buku, bukannya bikin resensi ?

Lho, ini, kan lagi ber-Yam Cha. Lagi santai. Ngobrol ngalor-ngidul, bebas-bebas saja dong. Tidak ada aturan terstruktur begini-begitu. Ini resensi sambil ber-Yam Cha.

Iya juga, ya ?

Nah, sekarang, tertarik nimbrung, nggak? Kalau tertarik, datanglah segera! Teh sudah dituang ke cangkir. Masih panas. Tinggal diseruput saja. Terlalu manis atau tawar, silakan sampaikan nanti kalau sudah mencicipinya. Mari kita ber-Yam Cha!

-o0o-

Balikpapan, 05 Juli 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar